SESAL - BAB IJA

Mungkin ini adalah sesal paling pedih yang harus diterima. Mengingat bagaimana ia hanya mampu diam dan memilih memendam perasaannya sebegitu lama. Dan dengan bodohnya memilih orang yang tak benar-benar ia cinta.

Hari itu adalah hari pertamanya bersekolah setelah ia menamatkan studi menengah pertamanya beberapa bulan lalu. Seperti sekolah-sekolah lainnya, hari pertama dan beberapa hari ke depan adalah hari dimana seluruh siswa baru harus mengikuti beberapa agenda yang mereka sebut masa pengenalan lingkungan sekolah. Bukan agenda yang memberatkan bagi seseorang yang tiap harinya dilanda kebosanan sepertinya. Bersekolah, membantu pekerjaan rumah, makan, dan hal-hal umum lainnya yang bisa dikerjakan remaja seusianya. Dan dia sangat yakin, masa sekolah selanjutnya pun tak akan mampu mengubah banyak keadaan yang memang biasa ia jalani tiap harinya.

“Menurutmu apa pentingnya kegiatan seperti ini?” Tanya remaja perempuan sebayanya yang tak sengaja ia tabrak di gerbang sekolah karena terlalu melengnya ia berjalan.

“Ngabisin duit? Ajang eksistensi senior? Apalagi kalau bukan itu.”

“Tahun depan, mau jadi seperti senior itu, Tsa?”

“Mungkin iya, mungkin tidak”

“Apa maksudmu?”

“Kita tidak akan tahu Ja, bagaimana dan akan jadi seperti apa kita suatu saat nanti.”

“Bisa berhenti panggil aku 'Ja'?”

Tsani hanya pergi meninggalkannya dan kembali ke tempat berkumpulnya siswa baru, karena memang sudah waktunya acara selanjutnya dimulai.

Acara hari itu ditutup dengan penyematan tanda peserta oleh kepala sekolah kepada salah satu siswa baru sebagai simbolis. Riuh tepuk tangan menggema di dalam gedung serba guna yang digunakan untuk acara hari ini dan beberapa hari kedepan, disamping akan menggunkan area outdoor juga untuk beberapa sesi acara.

***

“Bagaimana acaranya, Ka?” 

“Biasa saja, Bu.” Tsani yakin ibunya pasti tahu betul bagaimana biasa sajanya acara semacam ini. Ia sudah merasakannya berkali-kali. 

Setelah mengganti pakaian dan makan, Tsani pun beranjak tidur. Yah, seperti itulah agenda hariannya. Namun tidak seperti remaja seusianya, Tsani lebih memilih tidur dibandingkan harus pergi bermain. 

Hai, Tsa. Malam ini kita ketemu di 'RinduTemu' yah. Aku rasa kamu tidak lupa telah menabrakku di gerbang pagi ini. Dan aku rasa kamu pasti tidak lupa sama makanan aku yang tumpah itu kan? See u. Aiza. – Today, 4.25pm

Pesan singkat dari Aiza.

Tsani terbangun sudah lewat pukul tujuh malam. Yang tandanya ia akan telat untuk menemu Aiza malam ini. Ia telah berjanji akan mentraktirnya makan malam ini, sebagai ganti rugi telah menabrak dan menumpahkan makanan remaja perempuan yang baru ia kenal pagi tadi. Setelah mengirim balasan singkat bahwa ia akan telat. Tsani bergegas untuk mandi dan tidak lupa melaksanakan beberapa kewajiban yang telah ia tinggalkan selama ia tidur. 

“Maap, Ja. Aku telat.” Setelah memarkirkan motornya di depan sebuah tempat yang telah dipilih oleh remaja  perempuan yang baru saja ia kenal pagi tadi. 

“Qiana Aiza. Mana bisa kamu panggil aku 'Ja'?”

“Udahlah nama saja kamu perdebatkan?” Tsani tahu teman barunya itu sangat tidak suka ia panggil seenaknya, namun ia tetaplah orang yang sama sejak dulu. 

“Kita mau makan disini?”

“Tenang saja, aku tahu isi dompetmu gak banyak. Aku cuma mau nasi goreng itu.” Sembari berjalan menuju abang nasi goreng disamping cafe besar yang ia sebutkan di pesan singkatnya sore tadi. 

Kini Tsani duduk di hadapan meja bersama remaja perempuan yang ia tabrak pagi tadi. Nama dan nomor telepon yang entah darimana didapatkannya merupakan hal yang Tsani tahu dari remaja perempuan itu. Kalau bukan karena kejadian itu ia pasti tengah berkutat dengan kesibukan di kamarnya. Dan memang hanya itu yang ia inginkan setiap harinya. Hal semacam ini bukanlah sesuatu yang ia suka. Mengapa demikian? Apa yang membuat remaja tanggung belasan tahun sepertinya hanya tertarik terhadap kesepian? Sepertinya rasa sakit itu akan selamanya mengendap di hatinya. Memang bukan yang ia inginkan. Tetapi memang harus ia rasakan. Betapa pedihnya ditinggalkan, bahkan sebelum perasaan diungkapkan. Barangkali ini ganjaran untuk orang yang sebegitu pengecutnya mengatakan cinta. 

“Kamu melamun, Tsa?” Sedari tadi, Aiza sadar bahwa teman barunya hanya duduk melamun setelah memesan makanan untuk mereka berdua.

“Tidak.”

“Kamu kira aku tuli, Tsa. Sampai aku tidak melihat kamu melamun.”

“Tuli itu tidak bisa mendengar, Ija..”

“Aku becanda”

Comments