SESAL - BAB JUANG

Seketika setiap orang yang melihat menghampiriku dengan kerut di dahinya memastikan apakah sosok yang mereka lihat masih bernapas setelah cukup keras menabrak pembatas jalan hingga ia terpelanting cukup jauh terpisah dari motornya yang mungkin sudah tidak bisa ditolong lagi.

Aku melihatnya. Aku yakin telah melihatnya tadi. Di dalam sebuah mobil putih keluaran terbaru. Ia ada di dalam. Mengapa ia tak melihatku? Mengapa ia semacam tak acuh ketika ku ketuk jendela mobilnya yang ku kejar menggunakan motor yang dengan satu tangan aku lajukan. 

Hingga akhirnya aku tak sadar.

*** 

"Woy bangun, Tsa! Sudah jam berapa ini.” Pagi itu seperti pagi-pagi lainnya dimana bangun kesiangan sudah menjadi hal lumrah untuk seorang Tsani. Bukan semata karena dia malas, dia harus bekerja full selama dua hari di akhir pekannya untuk tetap bisa hidup di kota dimana ia tinggal sekarang.

“Kamu tidak bisa terus seperti ini, Tsa. Bisa berantakan kuliahmu.” Sudah seringkali ia dengar wejangan semacam ini dari mulut teman satu kost-nya itu. Di kota sebesar ini ia hanya tinggal di kost murah dekat dengan kampusnya guna mempermudah mobilitasnya ke kampus juga sebagai upaya meminimalisasi keterlambatan sebab ia seringkali bangun kesiangan.

“Ini satu-satunya cara agar aku bisa hidup, Lam. Ayahku tidak setiap bulan bisa mengirimiku uang. Pun aku yang tidak bisa terus menerus meminta kepadanya. Ini sudah benar. Lagipula bukan hanya berkuliah tujuanku disini, juga...” Tsani mendadak terdiam sebelum melanjutkan kalimatnya itu. Dan seperti biasa, Nilam tahu apa yang akan Tsani sampaikan. Ini sudah tahun kedua Nilam menjadi teman satu kost-nya, sedikit banyak cerita yang sudah Tsani sampaikan kepada salah satu orang yang dipercayanya itu.

“Ini untukmu, Tsa.”

“Sarapan? Aku tidak memesannya. Lagipula aku sudah hampir terlambat.”

“Bawa saja untuk nanti. Aku tahu kamu jarang sekali sarapan.”

“Terima kasih, aku akan menggantinya saat aku sudah kaya.”

Di suasana mendung yang kerap saja menyambangi kotanya, Tsani masih tetap semangat mengejar helai demi helai rupiah untuk hidupnya saat ini. Ia harus tetap berkuliah sebab itulah keinginan terakhir mendiang ibunya yang ingin agar Tsani bisa jadi sarjana untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Dan Tsani harus bisa mewujudkan keinginan itu.

“Kamu manusia kan?” Pertanyaan itu sontak saja membuat Tsani hampir tersedak minumannya. Seperti kebanyakan mahasiswa lain di kotanya. Pulang malam adalah hal yang lumrah. Setelah menyelesaikan sebuah tugas kelompok, pukul sepuluh malam ia akhirnya bisa pulang ke kamar kost yang sudah ia rindukan sejak ditinggalkan pagi tadi.

“Aku ini ketimun.”

“Gak ada yang lebih keren lagi?”

Mereka berdua tertawa. Selain Nilam, Ira juga merupakan teman yang cukup dekat dengannya. Sama seperti Aiza di sekolah menengah atasnya dulu, ia juga bertemu Ira di masa pengenalan kampusnya. Perempuan dengan rambut sebahu yang paling tidak suka rambutnya terurai itulah yang telah membantunya membereskan perlengkapan ospek kampus yang merepotkan setelah tidak sengaja ia tersandung kakinya sendiri ketika tengah berlari ke barisan para mahasiswa baru.

“Terima kasih.” Tsani rasa itu kalimat yang lebih dari cukup sebagai balasan.

“Aku rasa kamu perlu bangun lebih pagi lagi. Ira.” Pun Tsani yang juga mengulurkan tangannya, menjabat tangan gadis itu sembari memperkenalkan diri.

“Aku rasa aku sudah bangun sepagi mungkin.”

“Kenapa terlambat?”

“Mereka saja yang bikin acara kepagian.”

Cukup aneh bagi Ira mendengar alasan laki-laki yang baru dikenalnya itu. Namun demikian, Tsani orang baik, ia sering membantu Ira. Seperti malam ini, rumah mereka berbeda arah sebenarnya. Mungkin akan lebih cepat jika saat itu Tsani membawa motornya, namun ia tetap saja mau menemani Ira pulang, meski berjalan kaki. Pun dengan Ira yang tidak keberatan dan sangat senang temannya itu mau menemani. Karena memang hari sudah cukup malam.

“Kenapa kamu masih terus bekerja di akhir pekan?”

“Aku harus hidup, Ra.”

“Kuliahmu juga?”

“Kuliahku sudah dibiayai oleh keluarga dari almarhumah ibu. Aku hanya perlu hidup, dan karena itu aku harus bekerja.”

“Bagaimana dengan Ayahmu?”

“Tidak mau merepotkan.”

Ayahnya masih terus mengirimi uang dari hasil bekerja di perusahaan meubel. Itu pekerjaan yang hingga kini ayahnya tekuni, setelah di-PHK dari perusahaannya dulu karena bangkrut. Lagipula ayah Tsani sudah mulai berumur. Sulit menemukan pekerjaan yang sepadan dengan pekerjaannya dulu. Namun demikian ayahnya ingin agar Tsani tetap bisa berkuliah, bagaimanapun caranya.

Tsani pun sangat menghargai hal tersebut. Meskipun ia selalu dikirim uang setiap bulannya, sebagian besar uang tersebut masih ia simpan. Hanya digunakan sebagian untuk keperluan kuliah. Selebihnya ia menggunakan uang hasil kerjanya. Karena memang itu tujuannya.

“Kenapa kamu memilih kota ini, Tsa?"

“Kenapa?”

“Maksudku, di kotamu saja banyak kampus yang berkualitas, kampus negeri juga ada disana.”

“Aku tengah mencari sesuatu?”

“Apa?”

“Seseorang.” 

Wattpad Version

Comments