SESAL - BAB RELA

Kenyataan harus diterima. Memeluk pelik yang tanpa aku sadari telah dirancang semenjak awal mula. Sekarang bagaimana? Apa yang seharusnya dilakukan. Mengingat aku telah salah menentukan. Semua yang terjadi ternyata tak sejalan dengan terka yang dipikirkan. 

“Kamu salah, Tsa” 

“Aku tahu.” 

Malam itu Tsani mendatangi rumah Aiza. Sahabatnya yang entah sudah berapa lama. Aiza satu-satunya orang yang ia percaya dalam urusan seperti ini. Tsani terlalu malu untuk bercerita kepada orang tuanya. Apalagi sepeninggal ibunya, Tsani harus berusaha mengakrabkan diri dengan ayahnya dimana memang sejak dulu ia jarang berbicara dengan ayahnya. 

“Akan lebih salah lagi jika aku bertahan dengan orang yang tidak benar-benar aku cinta, Ja.”

“Itu jahat, Tsa. Kamu yang dulu minta bantuanku untuk menyatakan cintamu ke Nika.”

“Tidak, Ja. Bagaimana bisa aku bersama Nika sedang pikiranku selalu memikirkan Laila. Esok kelulusan kita, aku akan mencarinya.”

Aiza hanya terdiam mengetahui keputusan yang sudah dibuat oleh sahabatnya itu. 

***

Keputusan telah bulat. Pagi itu persis setelah kelulusannya tempo hari, Tsani pergi meninggalkan kotanya untuk menuju tempat dimana sepengetahuannya Laila berada. 

“Aku pamit pergi, Yah” Sepertinya hanya kalimat itu yang cocok diucapkannya kepada Ayah yang selama ini telah menghidupinya. Hari itu Tsani akan meninggalkan Ayahnya untuk berkuliah di luar kota. 

Semua tahu itu hanya alibinya saja. Sebenarnya ia akan mencari keberadaan cintanya yang telah lama ia idam-idamkan.

“Jaga diri kamu baik-baik nak. Belajar yang rajin. Kamu harus lulus kuliah dengan nilai yang baik”

“Iya yah”

Sebenarnya Tsani pun ragu dengan perjalanan kali ini. Ia akan menggunakan motor pemberian ayahnya, bukan itu yang membuat ragu. Ia akan menuju kota yang sama sekali belum dikenal dan belum pernah ia datangi sebelumnya. Ini adalah perjalanan nekat. 

“Terima kasih bu.” Tepat menjelang sore, Tsani tiba di kota tersebut. Setelah bertanya tanya tentang berbagai macam kost-an. Akhirnya dia merasa cocok dengan salah satu kost. Letaknya bukan di tengah kota. Jauh dari keramaian. Berada di pinggiran kota dekat dengan kampusnya, dengan pemandangan yang cukup asri seperti di kotanya dulu. Setelah melakukan pembayaran untuk beberapa bulan ke depan, akhirnya Tsani bisa merebahkan tubuhnya setelah perjalanan yang cukup panjang yang harus ia tempuh seharian.

***

Menginjak tahun kedua di kota tersebut. Tsani telah akrab dengan para penghuni kost, juga kini telah mempunyai cukup banyak teman di kampusnya. Ia cukup pandai di kelasnya, dengan memilih jurusan sastra indonesia yang ia rasa cocok dengan hobinya, menulis. 

Banyak ajang kejuaraan menulis yang telah dimenangkannya. Banyak pula tulisannya yang masuk ke koran-koran lokal. Hal ini diharapkan agar Laila tahu, bahwa Tsani ada di kota yang sama dengannya. Namun hingga sampai saat ini mereka belum juga bertemu.

“Tsa anterin aku ke toko buku yah.”

“Aduh aku mau langsung pulang.” Mencoba menolak ajakan teman satu kampusnya itu. Ira. Perempuan yang sudah ia kenal sejak masa pengenalan kampus di awal semester pertama. 

“Tolong lah, Tsa.”

Tak tega melihatnya Tsani pun akhirnya mau mengantar. Toko buku yang dimaksud berada jauh di tengah kota. Hal inilah yang membuat Ira mau tidak mau merepotkan temannya itu. 

Setelah beberapa saat mengendarai sepeda motor. Merekapun sampai di toko buku tersebut.

“Aku hendak ke toilet.”

Ira langsung menuju area buku yang ia cari. Membiarkan Tsani dengan urusan pertoiletannya. Namun entah mengapa dengan sangat tergesa selepas keluar dari toilet. Seperti melihat sesuatu yang sangat penting, Tsani buru-buru keluar dari toko buku tersebut, menaiki motornya dan meninggalkan Ira disana. 

“Ah masa aku ditinggal. Tsani kurang ajar.”

***

“Sadar juga kamu , Tsa.”

Nilam, teman satu kost nya juga Ira, perempuan satu kampusnya yang ia tinggalkan di toko buku hari itu, mereka ada dalam satu ruangan yang baru sesaat kemudian Tsani kenali sebagai rumah sakit. 

“Kamu kenapa sih, Tsa? Buru-buru ninggalin aku di toko buku itu. Akibatnya seperti ini.” Kesal Ira langsung memuncak saat itu juga.

Aku melihatnya. Aku yakin telah melihatnya tadi. Di dalam sebuah mobil putih keluaran terbaru. Ia ada di dalam. Mengapa ia tak melihatku? Mengapa ia semacam tak acuh ketika ku ketuk jendela mobilnya yang ku kejar menggunakan motor yang dengan satu tangan aku lajukan. 

“Laila, Lam.”

“Siapa Laila.” Ira tampak bingung, sebab ia belum pernah sama sekali tahu perihal Laila.

“Dimana dia sekarang?”

“Tidak tahu.”

Tsani mengalami patah tulang di bahu kanannya. Setelah dengan keras terbanting dari motor yang ia kendarai hari itu. 

“Assalamu'alaikum” entah darimana, di tengah perbincangan mereka. Pintu ruangan tempat Tsani dirawat diketuk pelan dan seorang perempuan cantik masuk dengan seraya memberi salam.

Semua tidak mengenali siapa perempuan ini. Namun tidak dengan Tsani, ia tahu betul siapa perempuan ini. Perempuan yang sejak awal sekolah menengat atas begitu ia suka. Perempuan berkacamata yang satu kelas dengannya. Perempuan yang begitu ia idam-idamkan sejak lama. 

“Wa’alaikumussalam warrahmatullah.”

“Laila.” Seraya menjabat tangan Nilam dan Ira yang sejak kemarin menunggu Tsani tersadar. 

“Ayo keluar, Ra.” Dengan masih banyaknya pertanyaan tentang Laila di benak Nilam. Pemuda itu memilih untuk keluar membawa Ira agar sahabatnya, Tsani bisa berbincang dengan perempuan itu.

“Aku tahu dari koran pagi ini, setelah melihat foto kejadian, aku tahu itu kamu. Aku langsung kesini. Kamu sudah mendingan? Atau masih sakit?”

“Ma-masih, La. 

Masih tidak menyangka, Laila yang sejak lama ia cari-cari akhirnya datang dengan sendirinya menemuinya. 
“Aku minta maaf, Tsa. Aku tidak tahu kamu disini. Aku benar-benar tidak tahu. Kamu juga mengapa tidak menghubungiku?”

“Mmm”

“Apa? Mau beralasan tidak mempunyai nomorku? Kamu kan bisa dm aku lewat instagram, Tsa.”

“Mama..” tiba-tiba seorang anak kecil masuk dan langsung memeluk Laila yang berada di samping Tsani.

“Ini siapa, La?”

“Kenalin ini Melda, anakku. Aku sudah menikah, Tsa”
Bagai dihujam pedang yang sangat tajam. Hati Tsani begitu sakit mendengarnya. Tak disangka jelas sudah pertanyaan dalam benak Tsani. Jelas sudah apa yang telah ia lihat kemarin, yang mengakibatkan ia harus terjatuh dari motornya.

“Aku pamit, Tsa. Ini nomorku, hubungi bila kau perlu sesuatu. Atau sekedar berbincang.”

TAMAT

Comments