Lantas bagaimana dengan Rei? Remaja perempuan yang begitu ia kagumi selama beberapa tahun di sekolah sebelumnya. Remaja perempuan yang menjadi alasan semangatnya. Namun memang, Tsani adalah pengecut ulung. Bahkan untuk sekedar menyapa tak pernah ia lakukan sampai akhirnya hari itu tiba. Rei pindah sekolah dikarenakan orang tuanya yang dipindah tugaskan oleh kantornya. Bahkan hingga hari perpisahannya, tak ada sepatah katapun terucap dari mulut Tsani.
“Selamat pagi, Tsa. Terima kasih untuk nasi goreng semalam yah. Kamu mau menabrakku lagi pagi ini?” Sapa ramah remaja perempuan yang tak sengaja ia tabrak di gerbang pagi itu yang dengan tidak sengaja pula menjadi temannya saat ini. Namun rupanya basa-basi Aiza bukanlah hal yang menarik perhatiannya. Ada sosok lain yang sedari tadi tengah ia perhatikan.
“Kamu tahu itu siapa?”
“Yang bersama kepala sekolah?”
“Kita baru dua hari bersekolah disini, Tsa. Jika kamu menanyaiku, jawabanku akan sama denganmu.”
Memang salah jika bertanya siapa siswa yang ia lihat kepada teman barunya itu. Sebab perempuan yang kerap ia panggil seenaknya itu pun sama sepertinya. Belum genap dua hari mereka sekolah disini. Namun nampaknya semenjak hari itu, Tsani selalu saja terpikirkan oleh remaja perempuan yang ia lihat bersama kepala sekolah.
***
Masa pengenalan berakhir setelah lima hari lamanya. Dengan pelepasan balon helium ke udara, menandakan acara ini resmi ditutup kemarin. Dan hari-hari selanjutnya akan menjadi hari belajar bagi semua siswa di sekolah ini. Meskipun diberi nama masa pengenalan, nyatanya tidak menghasilkan suatu pengenalan apapun bagi Tsani. Sosok keras kepala yang enggan tersenyum sebelum disapa. Enggan menengok sebelum ditepuk pundaknya. Seperti itulah yang Aiza rasakan sejak pertemuan tidak disengaja itu.
Hari ini hari pertamanya menginjakkan kaki di ruang kelas. Bukan kelas yang modern seperti sekolah di kota. Bahkan ia lebih suka sekolah dasarnya dibanding sekolah menengah atasnya kini. Namun sepertinya itu bukan masalah bagi Tsani, kini ia tertegun semenjak duduk di bangku yang ia pilih. Suasana kelas masih sepi, sebab ia memang lebih suka berangkat ke sekolah lebih pagi dari anak-anak sekolahan pada umumnya. Namun ada satu titik yang membuatnya diam dan mengingat lebih dalam. Ia yakin, bahwa yang duduk di depannya adalah perempuan yang sama, yang ia lihat bersama kepala sekolah di hari kedua masa pengenalan kemarin. Ia tidak salah lagi, perempuan itu adalah perempuan yang membuat ia diam memperhatikan di gerbang sekolah. Dan kini perempuan itu satu kelas dengannya.
“Laila.” Sembari mengulurkan tangannya bermaksud ingin berkenalan. Namun seperti biasa, Tsani masih berkutat dengan lamunannya sedari tadi.
“Hai, kok melamun?”
“Hmm maaf, iya ada apa?”
Perempuan itu kembali mengulurkan tangannya yang kini dijabat olehnya sembari menyebutkan nama masing-masing. Kini Tsani tahu siapa perempuan yang berani-beraninya membuat ia terus melamun memikirkannya.
“Kita satu regu bukan?”
“Iya”
“Ternyata kita satu kelas yah, aku kira akan sendirian dari regu menyebalkan itu.” Sebenarnya bukan hanya ketika dengan kepala sekolah saja Tsani melihat remaja berkacamata di depannya itu. Juga beberapa hari setelah Tsani melihatnya, Laila ada di satu regunya.
Tidak peduli pertemuan kemarin, yang ada dalam pikirannya saat ini adalah kenyataan bahwa remaja perempuan yang ia perhatikan kemarin ada di kelasnya.
***
“Apa selalu sebegini ramainya bubaran sekolah?” Tsani berdiri di gerbang sekolah bersama seorang teman baru satu mejanya di kelas. Melirik ke kiri dan kanan memperhatikan betapa ramainya jalanan siang itu.
“Bahkan untuk ke parkiran saja susah.”
“Mengapa jadwal pulang sekolah tidak dibedakan saja? Dibuat bergantian. Aku rasa ini akan mengurangi keramaian seperti ini.”
Tsani membawa motor hari itu. Dan seperti yang lainnya, kendaraan bermotor siswa di sekolahnya harus diparkirkan di parkiran umum di depan sekolahnya. Juga dengan kendaraan bermotor siswa dari sekolah tetangganya.
“Pulang bareng dong.” Suara yang tak asing lagi baginya. Suara perempuan yang ia tabrak di gerbang sekolah pagi itu. Yang membuatnya harus mentraktir dua piring nasi goreng.
“Tolong yah, Tsa.”
Tsani akhirnya mau mengantarkan pulang setelah sebelumnya menolak karena memang ia ingin langsung pulang ke rumahnya sendiri seperti biasanya.
“Kamu tahu di dunia ini ada hal paling merepotkan.”
“Apa?”
“Kamu.”
Aiza hanya tertawa.
Comments
Post a Comment