SESAL - BAB ANDAI

Bagian paling pahit dari cerita ini adalah perandaian. Bagaimana bisa dia yang diam-diam kau cinta, tak juga mempunyai rasa seperti yang kau harap semestinya. Ternyata dambanya bukan untukmu, cintanya bukan milikmu. Pahit memang, kau yang mencintainya begitu dalam, tak mampu lebih dari sekadar tempatnya bercerita. Kau yang begitu mendambakan, tak ubah hanya tempat berkeluh kesah baginya. Cinta yang begitu tulus kau rangkai, tak pernah bisa lebih dari sebuah andai.

“Sebuah boneka.”

“Maksudmu aku dipermainkan?” Terkadang remaja perempuan yang ia tabrak di gerbang sekolah pagi itu, yang paling tidak menyukai jika dipanggil seenaknya, namun setelah dua tahun berteman sepertinya dia sudah tidak mempermasalahkannya itu seringkali memberikan analogi-analogi aneh yang sulit dimengerti. 

“Bayangkan jika setiap boneka juga memiliki perasaan, memiliki keinginan yang ingin sekali mereka wujudkan. Tetapi mereka hanya boneka, mereka tidak dapat berbicara, bahkan bergerak pun tak bisa ia lakukan sendiri. Dan jika si pemilik boneka sudah memainkannya, dia hanya bisa pasrah dan menerimanya.”

“Aku masih belum mengerti.”

“Maksudku, kamu juga seperti itu. Punya perasaan, punya keinginan yang ingin diwujudkan. Tetapi apa kamu bicarakan hal itu? Apakah kamu sudah mencoba mewujudkannya? Namun bedanya dari boneka yang tak bisa berbicara itu, kamu hanya tidak mempunyai nyali saja. Dan setelah pemilikmu, Tuhanmu berkehendak, kamu bisa apa? Seperti boneka itu; pasrah dan menerimanya.”

Tsani masih tetap saja orang yang sama sejak bertahun-tahun mengenal cinta. 

***

Lima dua puluh sembilan sore hari itu. Di sebuah pantai tempat bertemunya rindu. Setelah hati berdebat panjang tentang kesalahan, kini ikhlas yang semestinya dilakukan.

“Kamu pernah jatuh cinta sebelum kita, Tsa?”

“Pernah.”

Tsani masih ingat betul cinta sebelumnya. Cinta yang selesai tanpa kata usai, cinta yang menyakitkan tanpa sempat mengungkapkan. Yang membuatnya ragu apakah setelah itu masih ada cinta untuk orang lain di hatinya. Cinta yang membuatnya ragu bagaimana caranya mencintai orang lain. Hingga akhirnya dia sadar bahwa ada hati yang sedang memintanya jawaban. Ada hati yang berharap dimiliki. 

“Seperti apa?”

“Tak seperti kita.”

“Masih mencintainya?”

Tak langsung menjawab, Tsani menatap perempuan di sampingnya. Yang beberapa bulan telah menggantikan cinta yang menyakitkan sebelumnya. 

“Tidak, Ni”

***

“Ada apa?” Tanyanya singkat kepada seseorang di ujung telepon sana. Di tengah perjalanan pulang setelah bertemu Nika, tiba-tiba temannya, Aiza, meneleponnya. Ini masih terlalu sore untuk seorang Aiza menelepon. Malam hari adalah saat yang tak pernah mereka lewati untuk berbincang tentang banyak hal, namun tidak pernah sesore ini. 

“Cepat pulang.”

“Dalam perjalanan.”

Tidak seperti biasanya. Hal ini membuat Tsani penasaran, ia pun mempercepat laju motornya.

Tak salah lagi, hal buruk telah terjadi. Rumahnya ramai didatangi warga. Entah sejak kapan ia tak tahu, mungkin siang, atau sebentar lalu. Terbaring kaku dengan pakaian terakhirnya, putih bersih, suci. Pecah tangis sudah mengering tak bersisa, seakan telah dikuras semuanya. Terdapat beberapa orang yang sangat ia kenal disana. Tengah diam terduduk seakan masih tak menyangka dengan apa yang telah mereka lihat. Sosok laki-laki yang selalu menjaganya dan berjuang demi keluarga, ayah yang Tsani cintai. Teman dekatnya sejak tak sengaja dibuatnya kesal di gerbang sekolah, Aiza. Juga remaja yang semakin membuat Tsani terpesona tiap harinya, namun malang hatinya tak bisa ia miliki selamanya. Laila, yang Tsani tahu, ia telah memilih lainnya. 

“Aku ikhlas, Yah.” Peluk hangat ayahnya mencoba menenangkan anak semata wayangnya. 

“Ibu sudah tak ada nak.” 

Tsani telah siap dengan ini, semua tahu Tsani siap dengan apapun yang akan menjadi takdir hidupnya. Termasuk kematian ibunya. 

“Kamu sudah ditelepon sejak siang.”

“Aku tak mendengarnya, La.”

Dingin malam menemani percakapan mereka berdua. Di teras rumah yang sering ia, dan mendiang ibunya berbincang perihal hidup, semesta dan segala isinya.  Ibunya langsung dimakamkan sore tadi. Warga yang berdatangan beranjak pulang. Berpamit dan kembali menjalani kehidupan mereka. Ayah sudah di kamarnya, ingin segera istirahat katanya. Aiza tahu apa yang Tsani butuhkan saat ini, kesendirian. Juga Laila yang beberapa saat kedepan juga akan pergi. 

“Aku akan pindah sekolah. Besok.”

“Apa yang bisa ku bantu?”

“Tsa. Kamu harus tahu. Bicara cinta, aku tak mencintai siapa-siapa saat ini. Aiza sudah cerita semuanya. Itu sebabmu menjauhiku?”

Terkadang percintaan remaja memang membuat greget tiap orang yang mendengarnya. Mudah menyerah, mudah putus asa. Layaknya seorang Tsani, yang begitu dengan mudahnya menyerah ketika melihat pujaan hatinya berboncengan dengan laki-laki lain. 

Tak menjawab sepatah katapun. Entah apa yang semestinya ia katakan sebagai jawaban. Ia memilih diam.

“Kamu harus tahu itu, bahagia selalu yah dengan cintamu yang sekarang. Aku pamit pulang, juga pamit pergi.” 

Comments